cerita I: Balik Kampung

Juni 2007
Sekeloa sungguh indah sore ini. Matahari emas. Awan ada, tapi hanya berkerumun sedikit-sedikit. Tak berani mendekati sang surya yang menawan.
Angin semilir membuat pohon delima di seberang gang bergoyang-goyang kecil. Buah-buahnya terlihat ranum, menyembul di antara daun-daunnya yang kecil-kecil dan jarang. Perempuan yang sedang mengandung banyak tergiur melihat warnanya yang rata-rata yang sudah kuning kemerahan.
Entah berapa kali Long melihat suami-suami muda ber-punten-punten, sesantun mungkin biar dikasi delima oleh tetangga depan. Pasti istrinya dengan segala kemanjaan, rengekan, atau bentakan, menyuruh sang suami meminta delima pada si empunya. Para lelaki tak kuasa menolak jika istri menohoknya dengan kalimat kojo “Ini maunya si jabang bayi. Kalau nggak diturut, nanti anak kita ngacai.” Padahal kalau sudah ditangan, hasil jerih payah suaminya bertebal-tebal muka meminta itu paling-paling hanya di rasa seujung kuku. Lucunya, meski sudah makan delima itu, tetap saja anaknya yang lahir itu berliur-liur.
Gang Sukasari ini sering jadi tempat ibu-ibu muda itu berkumpul. Mengasuh sambil bergosip. Menyuapi anak sambil kesana kemari membicarakan orang lain.
Gang depan rumahku memang tak pernah sepi. Ketak ketuk langkah selalu setia menghiasinya. Ada seretan sandal jepit. Sepatu tinggi perempuan. Kadang denyit karet sepatu kets. Beberapa langkah itu terdengar cepat, menunjukkan pemiliknya yang tergesa-gesa. Mungkin takut terlambat datang ke suatu janji. Tapi tak jarang pula seretan-seretan dampal alas kaki yang lewat terdengar santai. Barangkali si empunya tak terikat waktu mendesak.
Kalau Long perhatikan, langkah yang lewat ternyata lebih banyak jenis yang ke-dua dia sebut. Entah karena mayoritas orang-orang itu memang tidak sedang diburu waktu, atau menganggap enteng saja waktu yang terus berlalu.
Masalah waktu memang menjadi stereotype tersendiri yang menempel pada orang Indonesia. Bangsa ini dinilai tak menghargai masa. Lihat saja cara kita menyebut waktu, waktu berjalan. Berbeda dengan orang barat, time is running.
Prejudise!
Entahlah, Long pikir tak semua orang Indonesia seperti itu!
Kalau pagi, pemilik langkah itu mahasiswa yang akan kuliah di universitas-universitas yang dekat dengan Sekeloa ini. Kalau sore, seperti sekarang, mereka balik ke kosan. Tapi biasanya, tak lama kemudian, dekat-dekat adzan magrib berkumandang, sebagian keluar lagi untuk jalan-jalan di pusat-pusat perbelanjaan yang banyak terdapat di kota Paris Van Java. Apalagi hari sabtu begini, anak-anak muda suka sekali membanjiri berbagai pusat perbelanjaan. Meski tak ada juga yang dibelanjakannya. Paling-paling, sekarang ini yang sedang digandrungi anak muda, nongkrong di warung-warung kopi bermerek. Sebagian memang suka kopi, tapi sebagian lagi hanya demi terlihat gaya. Padahal yang dibeli yang paling murah. Kalau bisa beli setengah, mungkin segitu yang dipesannya.
Hmm, itu prasangka Long.
Prejudise!
Tapi kegiatan mereka itu mungkin lebih baik daripada sekadar termenung di kosan, menatap layar kaca yang melulu berisi infotainment dan sinetron cengeng, atau memandangi Sekeloa yang semakin lama semakin padat.
Sekeloa — nama yang terkenal di kalangan mahasiswa Bandung–, adalah sebuah kelurahan yang terletak di pusat kota. Letaknya yang dekat dengan dua universitas negeri kenamaan membuat penghuninya padat. Mayoritas tentu mahasiswa, yang datang dari berbagai penjuru negeri untuk menuntut ilmu. Penduduk aslinya sebenarnya cuma sedikit.
Maka jangan heran kalau libur panjang sekeloa terasa sungguh sunyi. Apalagi kalau libur lebaran datang. Budaya balik kampung membuat Sekeloa terasa benar-benar lengang. Gang-gang sempit yang biasanya tak sepi oleh pejalan kaki jadi kosong melompong. Paling satu dua orang lewat di situ dalam satu jam.
Lebih nelangsa lagi karena warung-warung nasi kebanyakan tutup. “Kantin Aa” misalnya, dipastikan tidak beroperasi selama seminggu. Pemilik dan pekerja warung nasi “swalayan” murah meriah, yang masih satu keluarga itu, mudik ke Tegal. Begitu juga warung nasi “Tegal Bahari” yang di hari biasa berperasi selama 24 jam nonstop, pun pemiliknya balik kampung. Sama halnya dengan warung-warung tenda yang beroperasi di dekat persimpangan ke arah Fakultas Kedokteran Gigi Unpad. Semuanya tutup tup!
Paling-paling yang buka hanya warung nasi milik Ibu Endut di Sekeloa Timur. Yang sambal hejo-nya selalu membuat ketagihan.
Long sendiri sudah dua tahun mengontrak rumah di sini. Sejak mengambil Program Magister di Program Pascasarjana Unpad. Akang, suaminya , sebenarnya lima bulan lalu sudah mencicil sebuah rumah di Cibiru. Jauh memang dari pusat kota, kurang lebih dua puluh kilometer. Tapi dengan kondisi dompet yang masih kembang kempis, kering kerontang, itulah rumah terbaik yang bisa mereka beli. Sayangnya kuliah Long yang menuntut untuk sering bolak-balik ke kampus, membuat pasangan yang baru menikah setahun lebih itu memutuskan menunda menempati rumah. “Berat di ongkos” kalau kuliah di-dugdag –pulang pergi– dari sana.
Keinginan untuk cepat menempati Istana mungil itu turut menjadi alasan mengapa Long ingin segera menyelesaikan S2nya.
Tinggal selangkah lagi.
Tesis.
Dan sesuatu yang bernama tesis bukanlah pekerjaan yang enteng, meski tidak juga terlalu berat. Penyusunannya memerlukan langkah panjang, keberanian, keuletan, dan kekuatan meniti anak tangga prosedur yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu kalau mahasiswa yang mau dapat gelar master itu memang sungguh-sungguh mengerjakan dengan pemikiran dan tenaga sendiri.
Banyak yang bisa menyelesaikan tesis dalam waktu singkat, tapi tidak sedikit pula yang susah lulus gara-gara “makhluk” ini. Bahkan ada pula yang harus di-drop out karena penelitiannya tak kelar-kelar.
Dan di sinilah Long, di sekeloa yang sore ini terasa saat indah, sedang mempersiapkan satu tahapan penting dalam merampungkan tesisnya.
Bersiap berangkat untuk mengumpulkan data di lokasi penelitian.
***
Long mengemasi barang-barangnya. Semuanya ada dua koper besar, satu tas bincing besar, dan dua kotak yang juga besar. Ups, tak ketinggalan satu ransel yang tak kalah besar. Banyak nian bawaannya. Besar-besar dan berat pula. Mau tak mau harus begitu. Maklum, Long tak sendiri pergi ke lokasi penelitian ini. Selain dikawani Akang, mau tidak mau Long pun harus membawa Long Diza, bayinya.
Sebenarnya, rencananya penelitian ini akan Long kerjakan tiga bulan lalu, tapi tertunda karena kelahiran putri pertamanya itu. Izin dokter Alex, spesialis Anak di RSIA Tedja tempat Long melahirkan, untuk membawa anaknya bepergian jauh, baru dia dapatkan setelah Long Diza berusia tiga bulan. Katanya terlalu riskan bagi seorang bayi yang baru lahir untuk dibawa bepergian dengan pesawat. Tekanan udara yang berubah drastis dapat merusak gendang telinganya yang masih tipis. Sebagai ibu muda, Long tak terlalu paham perihal ini. Tapi dia turuti semua nasihat dokter yang sudah beruban itu, demi kebaikan Long Diza.
Terakhir kali kontrol, banyak sekali nasihat berharga yang dia sampaikan padanya agar Long Diza nyaman di perjalanan. Ditulisnya nasehat-nasehat itu di selembar kertas note book (yang bergambarkan logo sebuah perusahaan farmasi kenamaan). Waktu Long perbandingkan, petuahnya di kertas note book itu ternyata jauh lebih panjang dari pada isi “surat izin bepergian dengan pesawat” untuk Long Diza yang ditulisnya di atas kertas kop rumah sakit.
Selain menanti izin dokter Alex, penundaan penelitian ini juga karena Long menunggu Akang cuti. Cukup lama waktu yang ia perlukan untuk melobi atasannya agar permohonan cutinya dikabulkan. Yah, agak sulit untuk mengajukan izin cuti dalam jangka waktu yang lama di sebuah bank swasta. Itu pun cuma dapat ijin dua minggu saja, sesuai batas maksimum cuti yang bisa diambil dalam setahun. Padahal sudah merayu-rayu dia pada bosnya. Syahdu seperti Rayuan Pulau Kelapa. Berharap-harap aturan bisa sedikit dilonggarkan. Tapi ternyata tak berhasil. Membal saja bujuk rayunya itu.
Walhasil, setelah dua minggu Long akan ditinggalkannya di sana untuk merampungkan pengumpulan data.
Perlu masa yang tidak singkat memang untuk penelitiannya ini. Metode kualitatif yang dia pilih memintanya untuk mendapatkan data dengan wawancara mendalam dan observasi di lapangan. Data-data yang dia butuhkan tidak dapat ter-cover dengan menyebar angket atau kuesioner seperti pada penelitian kuantitatif. Terlebih lagi, tempat penelitian untuk tesisnya ini memang lumayan jauh, tepatnya di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat .
Sebenarnya untuk ukuran Kalimantan, tempat ini bukan termasuk daerah pedalaman yang terisolir. Tapi tak bisa dibilang dekat juga dari ibukota propinsi. Banyak kawan-kawannya sama-sama sepropinsi, orang pontianak atau dari kabupaten lain, tak tahu kalau di Kalimantan Barat ada sebuah tempat yang bernama Monterado. Padahal bukan main senangnya Long menyabut nama kecamatan ini. Keren. Seperti nama-nama tempat di benua Amerika kan? San Fransisco, Mexico, Colorado. Bisa bersanding dengan Monterado, kan?
Sangking tak terkenalnya, malah ada kawannya yang bilang “Adakah di peta Kalbar tempat yang namanya Monterado? Ndak pernah lihat aku, hahaha!” Dan, tawa kawannya itu disambut meriah oleh kawan-kawan lain yang mendengarnya. Semakin riuh rendah gelak mereka melihat muka Long yang belipat-lipat. Bekerut-kerut masam.
Tak serius mereka tentang peta itu. Hanya saja, bahwa mereka tak tahu Monterado, memang begitulah adanya.
Fakta.
Tapi jangan membayangkan betapa Long, suami, dan anaknya akan nelangsa, celingak-celinguk sendiri di sana mencari tempat tinggal sementara, untuk mengumpulkan data-data penelitian. Tempat itu, yang namanya Monterado itu, sungguh tidak asing baginya.
Meski dalam tubuh kurusnya mengalir darah Sunda tulen, tapi di tanah sebelah barat Pulau Borneo itu Long dilahirkan dan dibesarkan.
***

to be continued…

2 Responses

  1. Nice Post and Good Article ..

  2. makasih udah share ceritanya yaa…

Leave a comment