Mengubah Paradigma Kampanye Peraturan Lalu Lintas

Oleh Ira Mirawati

Tribun Jabar, 8 Mei 2010

Telah lebih dari sebulan peraturan penggunaan helm berstandar nasional Indonesia (SNI) yang termuat dalam Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diberlakukan. Beragam respon dikeluarkan masyarakat berkaitan dengan salah satu tata tertib bersepeda motor ini. Ada yang menyambut positif, tapi banyak pula yang bereaksi negatif.

Dari komentar-komentar yang masuk ke “Hotline” Tribun Jabar misalnya, sebagian besar mempertanyakan dengan “nada miring” kewajiban penggunaan helm SNI. Mulai dari keluhan tentang harganya yang lebih mahal dan mengapa bisa begitu, juga mengapa peraturan ini mesti diberlakukan, hingga keberatan akan sikap polisi lalu lintas yang inkonsisten dalam menindak pelanggaran.

Menariknya, bila dicermati, keluhan-keluhan dan keberatan mereka sebenarnya merupakan hasil dari kurang jelasnya informasi yang sampai pada mereka. Misalnya, kebingungan tentang jenis label SNI yang tidak hanya satu. Lebih dari itu, masyarakat juga tidak dibuat paham, apa urgensi memakai helm SNI dibandingkan helm tanpa label tersebut, meski modelnya sama, bagi mereka.

Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat bila mereka enggan menggunakan helm SNI, karena harus diakui bahwa sosialisasi atau kampanye peraturan ini tidak menyentuh semua khalayak yang seharusnya disasar. Belum lagi isi pesannya yang tidak informatif dan tidak dapat menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya helm SNI bagi mereka.

Sudah saatnya pihak yang berwenang menggunakan paradigma baru kampanye-kampanye peraturan lalu lintas. Kampanye hendaknya bukan sekadar dilihat sebagai ingar-bingar aksi panggung yang menampilkan artis-artis, tanpa diketahui pesannya sampai atau tidak. Bukan juga, sebatas tukar helm dititik-titik tertentu. Dan yang lebih penting, bukan sekadar razia-razia polisi lalu lintas (yang dalam benak khalayak sudah dipersepsi negatif sebagai ladang uang aparat kepolisian).

Lebih dari itu, Antar Venus dalam buku Manajemen Kampanye (2004) mengatakan bahwa kampanye merupakan upaya sistematis untuk menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat, atau gagasan yang disodorkan. Kegiatan ini harus dilihat sebagai upaya mengubah persepsi dengan cara-cara membujuk (persuasi) bukan dengan paksaan (koersi). Untuk itu kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan, mulai dari menarik perhatian khalayak, menyiapkan mereka untuk bertindak, hingga akhirnya mengajak untuk melakukan tindakan nyata.

Salah satu model kampanye yang sesuai untuk digunakan adalah model keyakinan kesehatan (health belief model). Meski dari namanya terlihat mengkhususkan diri pada perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, namun model ini tepat digunakan untuk menumbuhkan berbagai pemikiran dalam diri khalayak melalui pesan-pesan kampanye menuju perubahan perilaku yang diinginkan. Pengguna sepeda motor, berdasarkan asumsi model ini, akan mengambil tindakan untuk mencegah, menyaring, dan mengontrol berbagai kondisi dirinya dengan berdasarkan kepada faktor-faktor berikut.

Pertama, persepsi akan kelemahan (perceived susceptibility). Pengguna sepeda motor harus dibuat percaya dan merasa bahwa sebagai pengendara atau penumpang, mereka berpeluang mengalami kecelakaan.

Kedua, persepsi resiko (perceived severity). Buat mereka percaya bahwa bila kecelakaan itu menimpa, akan membawa suatu kondisi yang sulit dan tidak menyenangkan, bahkan berisiko besar berujung pada kematian. Tunjukkan pula bahwa resiko ini semakin tinggi bagi pengendara yang tidak menggunakan helm standar.

Ketiga, persepsi akan keuntungan (perceived benefits). Buatlah pengendara sepeda motor percaya bahwa perilaku menggunakan helm SNI merupakan perilaku preventif yang dapat mengurangi kerugian atau akan membawa konsekuensi positif.

Keempat, persepsi akan rintangan (perceived barriers). Buat rintangan terlihat ringan. Yakinkan sasaran bahwa biaya yang nyata atau biaya kejiwaan yang merupakan “pengorbanan” akan membawa keuntungan yang lebih banyak. Langkah ini akan membuat para pengguna motor merasa bahwa harga helm SNI yang lebih tinggi bukanlah masalah berarti dibandingkan dengan keselamatan mereka.

Kelima, berikan isyarat-isyarat untuk bertindak (clues to action). Persepsi sasaran harus diarahkan untuk siap menghadapi dan mempunyai keinginan menggerakkan dirinya sebagai sebuah kesiapan untuk membentuk suatu perilaku. Misalnya, tunjukkan cara memilih helm SNI, dimana membelinya, serta apa yang harus mereka lakukan terhadap helm lama mereka yang kualitasnya sama dengan helm SNI. Jika perlu, sediakan saluran telepon untuk kosultasi lebih jauh.

Terakhir, kemampuan diri (self efficacy). Buat sasaran percaya bahwa mereka bisa melakukan tindakan yang diharapkan. Tunjukkan bahwa peraturan ini dibuat dengan mempertimbangkan segala kemampuan pengguna sepeda motor di Indonesia.

Enam langkah ini akan sangat membantu dalam merancang kampanye peraturan lalu lintas mulai dari tahap penyadaran hingga ke titik yang akan membuat individu bertindak sesuai pesan kampanye. Jika ini dilaksanakan, bukan tidak mungkin pengguna sepeda motor akan menjadi khalayak yang loyal. Mereka akan melakukan tindakannya atas kesadaran akan kebutuhan dirinya, bukan karena takut pada polisi lalu lintas.

Memang tidak bisa dimungkiri, melaksanakan ini semua bukan perkara mudah, apalagi ditengah ketidakpercayaan khalayak pada para pembuat dan penegak peraturan. Oleh karena itu, akan lebih baik jika ditambah dengan faktor persepsi kejujuran (perceived honesty). Khalayak harus dibuat percaya bahwa peraturan ini dibuat sebenar-benarnya demi kebaikan mereka, bukan sekadar akal-akalan demi “kebaikan” para pembuat dan penegak peraturan.

Sayangnya, untuk menciptakan persepsi kejujuran ini rasanya tidak cukup dengan kampanye. Harus ada upaya dari para pembuat dan penegak peraturan di Indonesia yang menunjukkan usaha untuk mau dan mampu melaksanakan tugas dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya. Selamat mencoba!

Sompral dan Tanggung Jawab Berkomunikasi

Oleh : Ira Mirawati

Tribun Jabar, 3 desember 2009

“Ulah sompral!” kalimat itu, dalam berbagai bahasa, rasanya menjadi nasihat wajib bagi setiap jamaah yang hendak berangkat ke tanah suci Mekah. Pemberi nasihat, bila telah menunaikan ibadah haji, dipastikan melengkapi nasihat tersebut dengan kejadian buruk yang mereka atau rekannya alami akibat berkata sompral di rumah Allah.

Ada cerita tentang seorang calon haji yang tidak dapat menemukan penginapannya selama berjam-jam setelah berkata pada temannya, “Penginapan saya dekat banget dengan Ka’bah, nggak mungkin nyasar”. Ada pula kisah seorang jamaah yang kehabisan jatah makanan setelah berujar bahwa menu makanan tidak enak, kurang sesuai dengan seleranya. Dan masih banyak kisah lain yang diyakini berawal dari ucapan-ucapan meremehkan serupa.

Sompral yang dalam bahasa sunda serupa artinya dengan harung gampung atau ngomong sangeunahna (Ahmad Hadi, 2007), memang diyakini tabu dilakukan di tanah suci. Balasan langsung karena berbicara “seenak perut” ini dipercayai sebagai kuasa Tuhan menunjukkan keagungannya.

Memang, kaum muslimin mempercayai bahwa di kiblat umat Islam ini segala perkataan yang terlontar akan langsung diujikan. Tuhan ingin menjadikan rukun Islam ke-lima ini sebagai kesempatan bagi manusia untuk memurnikan ucapan-ucapanya. Maklum “lidah tak bertulang” dan manusia sering lalai mengendalikannya, hingga akhirnya menjadi “mulutmu harimaumu”.

Namun demikian, Islam mengajarkan perilaku sompral semestinya bukan hanya terlarang di sana, juga sejatinya tidak boleh dilakukan di tempat mana pun di dunia ini. Ayat-ayat dalam Alqur’an yang berkaitan dengan tata cara berkomunikasi mengajarkan untuk bertutur kata yang benar dengan sebaik-baik cara, di semua tempat dan kepada siapa pun. Tak peduli apakah itu kepada orang tua, keluarga, bawahan, hingga musuh sekalipun.

Ilmu komunikasi yang berkembang pesat di era globalisasi ini memiliki pandangan serupa tentang sompral. Sejak ribuan tahun yang lalu para tokoh komunikasi telah meyakini betapa penting tanggung jawab manusia dalam berkomunikasi. Pesan harus keluar dalam sebaik-baik tutur. Baik dari sisi isi pembicaraan maupun cara menyampaikannya.

Jalaluddin Rahmat dalam buku Psikologi Komunikasi menceritakan bahwa semua pakar komunikasi sekeyakinan tentang manusia yang tak bisa sekenanya ketika mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Dalam istilah Aristoteles, seorang komunikator harus memiliki pikiran baik (good sense), akhlak yang baik (good moral character), dan maksud yang baik (goodwill).

Bila dicermati, beberapa pakar komunikasi kontemporer juga menyebutkan bahwa seorang komunikator selain memiliki kecakapan atau kemampuan (competence or expertness) juga harus memiliki itikad baik (good intentions) dan dapat dipercaya (trustworthiness). Semua itu tidak lain karena semua rangkaian pesan yang kita keluarkan menjadi sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan.

Tidak heran dan sangat beralasan ketika Cicero, pakar retorika termasyur pada Zaman Romawi, mengatakan “a good man speaks well”. Orang baik yang akan berkata baik. Good man tidak akan berbicara sompral karena pada setiap pesan yang Dia keluarkan terintegrasi tanggung jawab seutuhnya dari relung kalbu terdalam.

Sompral yang terlihat dari perilaku berbicara sembarangan, bercanda berlebihan, termasuk meremehkan sesuatu adalah hal terlarang bagi seorang komunikator. Dalam kesempatan apapun, tak sepantasnya seseorang, yang dalam hidupnya tidak bisa terlepas dari proses pemberian dan penerimaan pesan, mengeluarkan pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi yang merendahkan pihak lain.

Bukankah ketika kita menghinakan sesuatu, kita sedang memancing kehinaan untuk diri sendiri?

Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh, kasus cicak vs buaya perlambang KPK versus POLRI yang terus berkembang dan berhasil membuka aib sang buaya pun bermula dari ke-sompral-an. Kalimat “Cicak kok melawan buaya” jelas menyuratkan kepongahan. Tidak terlihat tanggung jawab di sana, karena tidak terdeksi kandungan pikiran yang baik. Selain itu bahasa nonverbal yang melengkapi kalimat itu (sorot mata, gerak bibir, dan bahasa tubuh) menunjukkan bahwa pesan itu disampaikan dengan cara/akhlak yang tidak baik dan dinyatakan bukan dengan maksud yang baik.

Belum lagi, di sana ada keangkuhan yang berasal dari pemikiran pendek bahwa makhluk yang besar dan kuat yang akan berkuasa. Tak ada kemurnian hati di sana untuk mengingat bahwa kuasa tertinggi ada di tangan Tuhan. The invisible hand yang berkuasa membolak-balik segala keadaan.

Sayangnya, setelah kasus berjalan sekian lama dan cerita sudah memasuki antiklimaks, kegemasan rakyat Indonesia menanti pertobatan pelaku sompral tak kunjung terwujud. Mungkin harus ada yang menyadarkan POLRI bahwa keterjepitan posisi mereka bukan hanya karena ujian publik, namun juga merupakan ujian atau bahkan petunjuk Tuhan untuk berubah menjadi lebih baik.

Di luar itu, bukan hanya pelontar gagasan cicak vs buaya yang harus berbenah. Sudah waktunya bangsa Indonesia bercermin dari pengalaman banyak orang di tanah suci. Mari kita menyadari semua kekhilafan yang pernah dilakukan, memohon ampun dari lubuk hati terdalam, dan kemudian memperbaikinya. Dengan cara itulah kita berharap kondisi negara ini menjadi lebih baik. Karena bila dicermati, rata-rata jamaah haji yang menceritakan pengalaman sompral menutupnya kisahnya dengan happy ending setelah pertobatan pelakunya.