Oleh Ira Mirawati
Telah lebih dari sebulan peraturan penggunaan helm berstandar nasional Indonesia (SNI) yang termuat dalam Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diberlakukan. Beragam respon dikeluarkan masyarakat berkaitan dengan salah satu tata tertib bersepeda motor ini. Ada yang menyambut positif, tapi banyak pula yang bereaksi negatif.
Dari komentar-komentar yang masuk ke “Hotline” Tribun Jabar misalnya, sebagian besar mempertanyakan dengan “nada miring” kewajiban penggunaan helm SNI. Mulai dari keluhan tentang harganya yang lebih mahal dan mengapa bisa begitu, juga mengapa peraturan ini mesti diberlakukan, hingga keberatan akan sikap polisi lalu lintas yang inkonsisten dalam menindak pelanggaran.
Menariknya, bila dicermati, keluhan-keluhan dan keberatan mereka sebenarnya merupakan hasil dari kurang jelasnya informasi yang sampai pada mereka. Misalnya, kebingungan tentang jenis label SNI yang tidak hanya satu. Lebih dari itu, masyarakat juga tidak dibuat paham, apa urgensi memakai helm SNI dibandingkan helm tanpa label tersebut, meski modelnya sama, bagi mereka.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat bila mereka enggan menggunakan helm SNI, karena harus diakui bahwa sosialisasi atau kampanye peraturan ini tidak menyentuh semua khalayak yang seharusnya disasar. Belum lagi isi pesannya yang tidak informatif dan tidak dapat menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya helm SNI bagi mereka.
Sudah saatnya pihak yang berwenang menggunakan paradigma baru kampanye-kampanye peraturan lalu lintas. Kampanye hendaknya bukan sekadar dilihat sebagai ingar-bingar aksi panggung yang menampilkan artis-artis, tanpa diketahui pesannya sampai atau tidak. Bukan juga, sebatas tukar helm dititik-titik tertentu. Dan yang lebih penting, bukan sekadar razia-razia polisi lalu lintas (yang dalam benak khalayak sudah dipersepsi negatif sebagai ladang uang aparat kepolisian).
Lebih dari itu, Antar Venus dalam buku Manajemen Kampanye (2004) mengatakan bahwa kampanye merupakan upaya sistematis untuk menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat, atau gagasan yang disodorkan. Kegiatan ini harus dilihat sebagai upaya mengubah persepsi dengan cara-cara membujuk (persuasi) bukan dengan paksaan (koersi). Untuk itu kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan, mulai dari menarik perhatian khalayak, menyiapkan mereka untuk bertindak, hingga akhirnya mengajak untuk melakukan tindakan nyata.
Salah satu model kampanye yang sesuai untuk digunakan adalah model keyakinan kesehatan (health belief model). Meski dari namanya terlihat mengkhususkan diri pada perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, namun model ini tepat digunakan untuk menumbuhkan berbagai pemikiran dalam diri khalayak melalui pesan-pesan kampanye menuju perubahan perilaku yang diinginkan. Pengguna sepeda motor, berdasarkan asumsi model ini, akan mengambil tindakan untuk mencegah, menyaring, dan mengontrol berbagai kondisi dirinya dengan berdasarkan kepada faktor-faktor berikut.
Pertama, persepsi akan kelemahan (perceived susceptibility). Pengguna sepeda motor harus dibuat percaya dan merasa bahwa sebagai pengendara atau penumpang, mereka berpeluang mengalami kecelakaan.
Kedua, persepsi resiko (perceived severity). Buat mereka percaya bahwa bila kecelakaan itu menimpa, akan membawa suatu kondisi yang sulit dan tidak menyenangkan, bahkan berisiko besar berujung pada kematian. Tunjukkan pula bahwa resiko ini semakin tinggi bagi pengendara yang tidak menggunakan helm standar.
Ketiga, persepsi akan keuntungan (perceived benefits). Buatlah pengendara sepeda motor percaya bahwa perilaku menggunakan helm SNI merupakan perilaku preventif yang dapat mengurangi kerugian atau akan membawa konsekuensi positif.
Keempat, persepsi akan rintangan (perceived barriers). Buat rintangan terlihat ringan. Yakinkan sasaran bahwa biaya yang nyata atau biaya kejiwaan yang merupakan “pengorbanan” akan membawa keuntungan yang lebih banyak. Langkah ini akan membuat para pengguna motor merasa bahwa harga helm SNI yang lebih tinggi bukanlah masalah berarti dibandingkan dengan keselamatan mereka.
Kelima, berikan isyarat-isyarat untuk bertindak (clues to action). Persepsi sasaran harus diarahkan untuk siap menghadapi dan mempunyai keinginan menggerakkan dirinya sebagai sebuah kesiapan untuk membentuk suatu perilaku. Misalnya, tunjukkan cara memilih helm SNI, dimana membelinya, serta apa yang harus mereka lakukan terhadap helm lama mereka yang kualitasnya sama dengan helm SNI. Jika perlu, sediakan saluran telepon untuk kosultasi lebih jauh.
Terakhir, kemampuan diri (self efficacy). Buat sasaran percaya bahwa mereka bisa melakukan tindakan yang diharapkan. Tunjukkan bahwa peraturan ini dibuat dengan mempertimbangkan segala kemampuan pengguna sepeda motor di Indonesia.
Enam langkah ini akan sangat membantu dalam merancang kampanye peraturan lalu lintas mulai dari tahap penyadaran hingga ke titik yang akan membuat individu bertindak sesuai pesan kampanye. Jika ini dilaksanakan, bukan tidak mungkin pengguna sepeda motor akan menjadi khalayak yang loyal. Mereka akan melakukan tindakannya atas kesadaran akan kebutuhan dirinya, bukan karena takut pada polisi lalu lintas.
Memang tidak bisa dimungkiri, melaksanakan ini semua bukan perkara mudah, apalagi ditengah ketidakpercayaan khalayak pada para pembuat dan penegak peraturan. Oleh karena itu, akan lebih baik jika ditambah dengan faktor persepsi kejujuran (perceived honesty). Khalayak harus dibuat percaya bahwa peraturan ini dibuat sebenar-benarnya demi kebaikan mereka, bukan sekadar akal-akalan demi “kebaikan” para pembuat dan penegak peraturan.
Sayangnya, untuk menciptakan persepsi kejujuran ini rasanya tidak cukup dengan kampanye. Harus ada upaya dari para pembuat dan penegak peraturan di Indonesia yang menunjukkan usaha untuk mau dan mampu melaksanakan tugas dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya. Selamat mencoba!
Filed under: Arround Communication | 8 Comments »