Selebritis, Narkoba, dan Dramaturgi

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau traged
i
dari Yunani

Setiap insan punya satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar
Dan ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara

(cuplikan lagu “Panggung Sandiwara”)

Siapa tak kenal lagu “Panggung Sandiwara”? Lagu ini ditenarkan oleh Ahmad Albar, selebritis yang baru-baru ini ditangkap polisi berkaitan dengan kasus narkoba. Lagu yang sempat dipopulerkan kembali oleh Nike Ardila ini merupakan lagu yang sangat tenar pada zamannya, bahkan hingga saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu terakhir, lagu “Panggung Sandiwara” kembali sering terdengar di televisi atau di radio. Sejak tertangkap kembalinya Roy Marten karena kasus narkoba, lagu ini memang sering digunakan sebagai backing sound berita-berita di televisi atau radio yang menyiarkan perjalanan hidup Roy Marten.

Tertangkapnya tiga selebritis senior dalam sebulan terakhir, yakni Fariz RM, Roy Marten, dan sang pelantun “Panggung Sandiwara” itu sendiri, selain menguatkan prasangka bahwa kehidupan selebritis tidak jauh dari narkoba juga turut mempertebal dugaan negatif bahwa perilaku mereka tidak lebih dari sebuah pertunjukkan sandiwara dengan peran berpura-pura. Ini karena kasus narkoba tiga selebritis ini sangat ironis, mereka tertangkap di saat mereka dalam berbagai media menyatakan sudah menyesal dan tidak akan pernah lagi menggunakan barang haram tersebut. Bukan hanya dibuat percaya dengan segala ucapan mereka, masyarakat Indonesia bahkan dibuat kagum dan simpati karena mereka tidak hanya “insaf” namun “turut serta” dalam upaya penanggulangan peredaran barang haram tersebut. Fariz RM mengaku pernah menggunakan dan sedemikian rupa menyatakan tidak akan sekali-kali lagi menyentuhnya. Demikian pula dengan Roy Marten yang bahkan memperkuatnya dengan bergabung ke dalam Badan Narkotika Nasional (BNN). Sayangnya, polisi kemudian berhasil membuka topeng mereka dan menunjukkan kepada segenap masyarakat Indonesia bahwa mereka tak lebihnya “pemain sandiwara” yang berpura-pura.

Panggung depan dan panggung belakang

Tertangkapnya kembali Fariz, Roy dan Ahmad Albar memang sangat menarik, di samping memprihatinkan. Mereka adalah contoh selebritis yang dalam kehidupannya nyatanya benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang “aktor kehidupan”. Perilakunya di hadapan khalayak sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang kemudian terbongkar.

Dalam lagu “panggung sandiwara”, manusia dalam kehidupannya selalu memainkan peran, ada peran wajar dan juga ada peran berpura-pura. Isi lagu ini sangat sesuai dengan teori dramaturgi yang dikemukakan oleh sosiolog Erving Goffman. Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman menyatakan perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat, dan khalayaknya. Teori ini berasumsi bahwa ketika manusia berinteraksi dengan orang lain, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, mereka melakukan pertunjukkan bagi orang lain. Berkenaan dengan itu, Goffman menyebut dunia ini sebagai sebuah panggung sandiwara, tempat orang-orang bermain teater.

Goffman kemudian membagi arena dalam kehidupan ini menjadi dua bagian utama yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat pertunjukkan dilaksanakan, di mana ada aktor dan khalayak. Contoh panggung depan dalam kasus ini adalah infotainment. Dalam infotainment para aktor mengelola perilaku mereka untuk menampilkan kesan yang diinginkan. Sementara, panggung belakang adalah tempat di mana sang aktor tidak dapat dilihat oleh khalayak. Di area ini aktor dapat berperilaku apa adanya tanpa ditutupi. Kalaupun ada orang, maka orang-orang tersebut adalah orang-orang khusus yang sangat dipercaya oleh sang aktor. Contoh panggung belakang dalam kasus ini adalah ketika para aktor tersebut sedang berada di tengah keluarganya.

Namun panggung belakang adalah term yang relatif. Keluarga yang dapat dikatakan sebagai panggung belakang, dapat sekaligus menjadi panggung depan bagi aktor tersebut. Contohnya Roy Marten, keluarga selain merupakan panggung belakang juga menjadi panggung depan bagi dia. Dia menampilkan kesan “insaf” di hadapan anak-anak dan istrinya, namun nyatanya di belakang mereka ia tetap menggunakan narkoba.

Adanya infotainment merupakan salah satu faktor yang dapat membuat para selebritis semakin berusaha untuk mengelola sedemikian rupa panggung depan mereka. Apalagi, frekuensi munculnya mereka di infotainment tampaknya berkaitan dengan popularitas dan job yang mengalir kepada mereka. Berbagai kesan baik sedemikian rupa berusaha mereka tampilkan. Sayangnya, perilaku mereka di panggung depan ini ternyata sering bertolak belakang dengan fakta di panggung belakang. Padahal, tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai aktor. Sejatinya pekerjaan sebagai aktor adalah profesi mereka. Profesi yang bukan lantas mengilhami mereka untuk terus menerapkan kepura-puraan guna menutupi perilaku busuk mereka.

Infotainment tak hanya membantu para aktor tersebut menampilkan kepura-puraan mereka. Dengan bahasanya yang menghasut, serta suara yang nyinyir dan berapi-api, para presenter infotainment berusaha menampilkan sosok para selebritis yang melakukan kejahatan ini sebagai pihak penderita yang perlu dikasihani. Sedemikian rupa mereka memperlihatkan kunjungan sesama artis yang sedang berusaha menyemangati dan memberikan dorongan moril kepada roy, fariz, maupun artis pengguna narkoba lain yang tertangkap polisi. Agar mereka tabah. Agar mereka kuat. Agar mereka tetap semangat. Agar mereka tawakkal menghadapi cobaan ini. Apa kata dunia?

Stigma Selebritis

Kehidupan selebritis merupakan kehidupan yang penuh dengan stigma. Stigma – dalam hal ini stigma sosial – adalah tanda bahwa seseorang dianggap ternoda karena mempunyai watak yang tercela. Stigma yang melekat pada selebritis diantaranya adalah hidupnya tidak jauh dari dunia malam, seks bebas dan narkoba. Semakin banyak tertangkapnya selebritis tampaknya semakin memperkuat stigma mengenai selebritis sebagai orang yang kehidupannya sangat dekat dengan narkoba.

Stigma melekat pada kelompok orang. Meski tidak semua orang dalam kelompok begitu, tapi stigma akan mengenai semua orang yang termasuk ke dalam golongan tersebut. Oleh karena itu, harus ada kesadaran dari seluruh anggota kelompok untuk meminimalisasi stigma yang melekat pada mereka. Adapun sandiwara kepura-puraan yang dilakukan Roy Marten dan Fariz RM sebenarnya bisa menjadi salah satu jalan untuk meminimalisasi stigma. Namun, kepura-puraan ini tentunya akan menjadi kontraproduktif ketika kebenaran terbuka. Memang stigma dapat diminimalisasi dengan pengelolaan kesan, namun bukan pengelolaan kesan yang omong kosong belaka. Karena toh sebaik-baiknya bangkai ditutupi, akhirnya akan tercium juga. Pengelolaan kesan harus dilakukan dengan perbaikan diri yang dilakukan baik di panggung depan maupun di panggung belakang.

Tak hanya Selebritis

Banyak pihak mengkritik teori dramaturgi Goffman karena menganggap dramaturgi selalu memandang negatif perilaku manusia sebagai sesuatu yang memiliki tujuan dibaliknya. Di luar kritik tersebut, teori ini memang sangat dibutuhkan untuk menganalisis perilaku komunikasi manusia, terutama berkaitan dengan pengelolaan kesan yang saat ini dilakukan oleh banyak pihak.

Sebenarnya, tak hanya selebritis yang memainkan sandiwara dalam kehidupannya. Setiap manusia memainkan peran-peran tertentu dalam panggung kehidupan. Peran-peran di sini tidak melulu negatif. Banyak orang yang bersandiwara demi kebaikan bersama. Contohnya, seorang anak tidak akan memanggil ayahnya dengan “Ayah”, “Abi”, atau “Papi” ketika dia sedang mengikuti kuliah di mana sang ayah berperan sebagai dosen. Sebaliknya, sang ayah juga tidak akan memanggilnya dengan “nak”, atau “Sayang”. Namun keadaan akan berbeda ketika keduanya berada di rumah. Keduanya dapat saling memanggil nama kesayangan mereka. Sandiwara yang dilakukan ayah dan anak ini adalah demi kebaikan mereka dan peserta perkuliahan lainnya.

Sejatinya, peran-peran yang dimainkan oleh seseorang tidak harus bertentangan antara panggung depan dan panggung belakang. Seperti contoh ayah dan anak tadi, yang tidak melakukan kebohongan ataupun kejahatan untuk menjalankan peran – perannya. Peran mereka di kelas dan di rumah berjalan selaras dan harmoni.

Orang akan dapat dikatakan jahat bila dia keluar dari peran yang digariskan untuk ia mainkan. Dalam kasus narkoba selebritis, mereka melakukan kejahatan. Bahkan dapat dikatakan kejahatan berlipat. Ini karena selain mereka melanggar hukum (menggunakan narkoba) juga melanggar peran mereka. Mereka sebagai public figure harusnya menjadi panutan, namun malah menjadi contoh yang tidak baik bagi masyarakat.

Di luar kasus narkoba dan selebritis tersebut, setiap manusia memang memiliki kewajiban untuk menjalankan dengan baik dan benar peran yang diberikan masyarakat dan Tuhan kepadanya. Bila itu dilaksanakan, maka keselarasan dan keharmonisan akan terjalin antar berbagai peran yang ada dalam kehidupan